Salah satu elemen
perubahan pada kurikulum 2013 adalah penilaian. Penilaian kurikulum 2013
mengalami perubahan. Ketentuan penilaian kurikulum 2013 diatur dalam peraturan
mendikbud (permendikbud). Permendikbud pertama yang mengatur penilaian adalah
permendikbud nomor 81A tahun 2013. Disempurnakan dengan permendikbud nomor 104
tahun 2014. Terakhir diatur dalam permendikbud nomor 53 tahun 2015.
Pada permendikbud
nomor 81A tahun 2013, nilai pada rapor harus dinyatakan dalam bentuk 1 – 4
dengan kelipatan 0,33. “Pemaksaan” keliptan 0,33 ini ternyata menuai banyak
masalah. Misalnya bagaimana bila nilai akhir hasil pengolahan tidak kelipatan
0,33, misalnya 2,75. Nilai ini dijadikan 2,66 ataukah 3,00? Di permendikbud
nomor 81A tahun 2013 tidak ada penjelasan. Akhirnya muncullah berbagai macam
tabel rentangan. Di SMP, SMK dan SMA berbeda-beda tabelnya. Tabel itu seperti
berkemang “liar tak terkendali”.
Berikutnya untuk
menyempurnakan diterbitkanlah permendikbud nomor 104 tahun 2014. Permen ini
mengatur bahwa penilaian harus dinyatakan dalam bentuk 1 – 4 kontinyu, artinya
tidak lagi kelipatan 0,33. Permendikbud 104 ini pun ternyata tidak
menyelesaikan masalah.
Masalah pertama
munculnya gagasan 2 buah rumus untuk membuat nilai 1 – 4. Misalnya dalam
pedoman penskoran, nilai maksimal 45.
Salah seorang siswa mendapat skor 30. Rumus pertama, untuk mendapatkan
nilai 1 – 4 diperoleh dengan rumus N = 30/45 X 4 = 2,67. Beberapa orang tidak
setuju dengan rumus itu (termasuk saya), dengan alasan rumus itu dapat
digunakan bila rentangan nilainya 0 – 4 (panjang rentangan 4). Namun Nilai yang
digunakan adalah 1 – 4 (rentangan 3), dengan nilai terendah 1, bukan 0,
sehingga muncul rumus N = 1 + 30/45 X 3 = 3. Rumus kedua ini alasannya dapat
dipertanggungjawabkan. Bisa menggunakan pendekatan konversi suhu dalam fisika
atau pendekatan persamaan garis lurus
dalam matematika.
Masalah kedua,
muncul ide nilai 1 – 4 dalam ulangan harian harus dalam bentuk diskrit, artinya
nilai yang ada hanya 1, 2, 3 atau 4, tidak ada nilai 2,75 (misalnya) dalam
ulangan harian.
Ketika terjadi
pergantian pemerintahan yang tentunya terjadi pergantian menteri pendidikan dan
kebudayaan, maka kurikulum 2013 direvisi, termasuk penilaian. Hasil revisi
dalam hal penilaian itu adalah terbitnya permendikbud nomor 53 tahun 2013. Pada
pasal 11 permen ini dinayatan bahwa ketentuan
tindak lanjut mengenai pernecanaan, pelaksanaan, pengolahan, pemanfaatan dan
tindak lanjut penilaian hasil belajarpeserta didik oleh pendidik dan satuan
pendidikan serta format rapor ditetapkan oleh direktur jenderal Pendidikan
Dasar dan Menengah dengan berkoordinasi dengan Kepala Badan Penelitian dan
Pengembangan.
Di permen 53
tahun 2015 tidak ada ketentuan masalah skala nilai, tetap 1 – 4 atau kembali ke
0 – 100. Namun di panduan penilaian yang ditetapkan oleh dirjen dikdasmen
dinyatakan bahwa nilai harus dinyatakan dalam bentuk 0 – 100. Artinya setelah
“muter-muter” maka nilai “dikembalikan ke jalan yang benar”, yaitu 0 – 100.
Namun dengan
keluarnya permendikbud 53 tahun 2015 bukan berarti masalah penilaian sudah
selesai, masih menyisakan masalah. Sehubungan dengan Ujian Sekolah (US) dan
PDSS (Pangkalan Data Sekolah dan Siswa) mungkin tidak ada masalah. Ketentuan
kelulusan ujian sekolah hanya ditentukan dari nilai ujian sekolah, bukan
gabungan nilai ujian sekolah dan nilai rapor dengan proporsi tertentu seperti
tahun lalu (baca permendikbud nomor 57 tahun 2015 pasal 26 ayat 1). Untuk PDSS, kabarnya sistem
mengakomodasi nilai 1 – 4.
Namun beberapa
perguruan tinggi yang menerima mahasiswa menggunakan jalur
rapor masih ada yang mensyaratkan nilai minimal dalam bentuk nilai 0 – 10 atau
0 – 100, seperti UMY (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta), yang mensyaratkan
nilai minimal 7,0. Nah sekarang bagaiman dengan nilai 1 – 4, Nilai 7,0 itu
setara dengan berapa dalam 1 – 4? Oleh karena itu nilai 1 – 4 perlu
dikonversi menjadi 0 – 100. Di sinilah
penilaian kurikulum 2013 menyisakan masalah. Untuk mengkonversi muncul berbagai
macam rumus.
1. N = (A – 1) X 33,33
2. N = 25 X A
3. N = 19 X A + 24
N = Nilai 0 – 100
dan A nilai 1 – 4
Mari kita telaah
asal-usul rumus itu dan bagaimana hasil konversinya
Rumus pertama
didapat dari pendekatan persamaan garis lurus yang menghubungkan titik (1, 0)
dan (4, 100). Namun bila rumus ini digunakan maka nilai akan menjadi sangat
rendah. Misal 2,67 bila dikonversi menjadi 56, yang diperoleh dari (2,67 – 1) X
33,33 = 55,6. Silakan diutak-atik sendiri bagi guru matematika.
Rumus kedua
sederhana didapat dari N = A : 4 X 100 disederhanakan menjadi N = 25 X A. Bila
rumus ini kita terapkan maka 2,67 menjadi 67, yang didapat dari 2,67 X 25 =
66,75. Lumayan bagus, namun bila dibandingkan dengan pengguna kurikulum 2006
nilai 67 itu masih rendah, karena umumnya pengguna kurikulum 2006 memakai KKM
75. Sehingga masih “kalah bersaing” dengan pengguna kurikulum 2006.
Rumus ketiga
didapat dari pendekatan persamaan garis lurus juga yang menghubungkan titik
(2,67 , 75) dan (4 , 100), dengan asumsi KKM skala 4 adalah 2,67 dan KKM skala
100 adalah 75. Silakan diutak-atik sendiri bagi guru matematika. Bila rumus ini
digunakan aka nilai terendah menjadi 75. Saya pribadi lebih setuju dengan rumus
ketiga.
Penilaian
kurikulum 2013 ini memang unik, permen yang mengaturnya ada 3, yaitu permen
81A/2013, 104/2014 dan 53/2015 dan sampai saat ini masih menyisakan masalah.
Penilaian Kurikulum 2013 Masih Menyisakan Masalah
Reviewed by Moch. Fatkoer Rohman
on
06.15
Rating:
sip
BalasHapusMantap
BalasHapus